Kata Pengantar
A. Latar Belakang
B. Asal Usul Walasuji
C. Fungsi dan Makna Simbolik
D. Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang diperlukan dalam membuat walasuji yakni:
Bahan utama:
- Bambu tua, lurus dan masih hijau
- Rotan, untuk mengikat tiap rangkaian
- Pasak bambu, (bisa berupa kayu maupun kawat)
Bahan tambahan (jika diperlukan)
- Vernis, supaya lebih awet/tahan lama
- Balok kayu untuk tiang dan penyangga
- Papan
- Bakkaweng atau atap yang terbuat dari daun nipa (Bahasa Bugis).
Alat:
- Parang untuk membelah dan meraut
- Gergaji untuk memotong bambu
- Tobo’ (pisau kecil) yang tajam, untuk meraut bagian tertentu
- Pahat, untuk membuat lubang bambu
E. Prosedur Pembuatan
1. Orang yang bertugas memotong-motong bambu,
2. Orang yang membelah menjadi beberapa bilah,
3. Orang yang bertugas meraut bambu sampai halus,
4. Orang yang membentuk atau yang merangkai (desainer) walasuji
F. Hubungannya dengan Sarapo
G. Masalah yang dihadapi dan Pergeseran Fungsi
H. Kesimpulan
-->Coppo Walasuji di depan rumah warga Kabupaten Maros.
Segala puji dan syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa sebab hanya karena kasih dan anugerah-Nya sajalah penulis pada akhirnya dapat menyelesaikan tugas kajian seni rupa lokal ini.
Tugas kajian seni rupa ini disusun sebagai tugas mata kuliah seni rupa nusantara pada jurusan seni rupa Universitas Negeri Makassar. Penulis menyadari kurangnya referensi, hambatan serta terbatasnya waktu dalam mengerjakan kajian ini namun dengan berbagai usaha, kajian seni rupa lokal ini akhirnya penulis dapat mengatasi persoalan-persoalan tadi.
Isi kajian ini tentu akan lebih baik jika lebih disempurnakan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan masukan dari berbagai pihak yang berkompeten, terutama pihak dosen pembimbing untuk penyempurnaan kajian ini.
Akhirnya penulis menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada semua pihak, terutama pada rekan-rekan mahasiswa jurusan Program Pendididikan Seni Rupa Universitas Negeri Makassar dan dosen pembimbing mata kuliah Kajian Seni Rupa lokal.
Semoga kita semua senantiasa mendapat limpahan rahmat dan hidayat dari Allah Subahanahu Wataala, amin.
A. Latar Belakang
Sulawesi Selatan merupakan salah satu daerah yang kaya dengan keaneka ragaman budaya. Budaya tradisional yang bersifat ritual sampai dengan budaya tradisional yang bersifat hiburan. Sulawesi Selatan dihuni oleh empat rumpun suku bangsa yakni etnis Makassar, Bugis, Mandar, dan Toraja. Masing-masing memiliki gaya hidup dan cara hidup yang berbeda. Seperti halnya dalam melaksanakan suatu kegiatan upacara-upacara ritual kepercayaan, mereka tidak terlepas dari aturan adat yang juga masih dilengkapi penyembelian hewan untuk persembahan kepada Maha Agung dan beberapa kegiatan sakral lainnya. Khususnya pada adat Bugis-Makassar memiliki budaya walasuji yang cukup dikenal sebagai karakter orang Bugis Makassar. Selain itu masih ada lagi budaya yang tak lepas dari sebuah karya seni rupa yang kental dengan ciri khas Bugis-Makassar seperti misalnya Sarapo (Baruga), dan lamming.
Walasuji bagi warga dan keturunan Bugis-makassar adalah bukan hal yang asing, walasuji dapat dijumpai dengan mudah di rumah-rumah warga Bugis yang pernah melakukan pesta pernikahan. Walasuji terbuat dari bambu. Bentuk motifnya segi empat atau (sulapa eppa).
Menurut almarhum Prof DR Mattulada, budayawan Sulawesi Selatan yang juga guru besar Universitas Hasanuddin Makassar, konsep tersebut ditempatkan secara horisontal dengan dunia tengah. Masyarakat Bugis-Makassar memandang dunia sebagai sebuah kesempurnaan. Kesempurnaan yang dimaksud meliputi empat persegi penjuru mata angin, yaitu timur, barat, utara, dan selatan.
Wala Suji menggunakan pohon bambu, karena menurut sejarahnya pohon bambu dipercaya memiliki makna filosofi. Pohon bambu adalah sejenis tumbuhan yang sangat berguna bagi kehidupan manusia. Ada satu sisi dari pohon bambu dapat dijadikan bahan pembelajaran bermakna, yakni pada saat proses pertumbuhannya. Pohon bambu ketika awal pertumbuhannya atau sebelum memunculkan tunas dan daunnya terlebih dahulu menyempurnakan struktur akarnya. Akar yang menunjang ke dasar bumi membuat bambu menjadi sebatang pohon yang sangat kuat, lentur, dan tidak patah sekalipun ditiup angin kencang.
Sebagai ruang lingkup kajian penulis secara khusus membahas mengenai asal usul walasuji, makna simbolik, fungsi, alat dan bahan, prosedur pembuatan, serta masalah yang dihadapi.
B. Asal Usul Walasuji
Istilah Wala Suji tidak asing lagi bagi orang Bugis. Jika Anda pernah mengunjungi acara adat atau perkawinan Kerabat orang Bugis, tentu Anda akan melihat suatu Baruga (gerbang) yang dikenal dengan nama Wala Suji di depan pintu rumah mempelai atau yang melaksanakan hajatan. Wala Suji adalah anyaman bambu yang bermotif segi empat belah ketupat.
Wala suji berasal dari kata wala, yang berarti pemisah/pagar/penjaga dan suji yang berharfiah putri. Wala Suji adalah sejenis pagar bambu dalam acara ritual yang berbentuk belah ketupat. Menurut almarhum Prof DR Mattulada, budayawan Sulawesi Selatan yang juga guru besar Universitas Hasanuddin Makassar, konsep tersebut ditempatkan secara horisontal dengan dunia tengah. Masyarakat Bugis-Makassar memandang dunia sebagai sebuah kesempurnaan. Kesempurnaan yang dimaksud meliputi empat persegi penjuru mata angin, yaitu timur, barat, utara, dan selatan.
Mengapa Wala Suji harus menggunakan pohon bambu, karena pohon bambu dipercaya memiliki makna filosofi. Pohon bambu adalah sejenis tumbuhan yang sangat berguna bagi kehidupan manusia. Ada satu sisi dari pohon bambu dapat dijadikan bahan pembelajaran bermakna, yakni pada saat proses pertumbuhannya. Pohon bambu ketika awal pertumbuhannya atau sebelum memunculkan tunas dan daunnya terlebih dahulu menyempurnakan struktur akarnya. Akar yang menunjang ke dasar bumi membuat bambu menjadi sebatang pohon yang sangat kuat, lentur, dan tidak patah sekalipun ditiup angin kencang. hal tersebut mengajarkan kepada manusia agar tumbuh, berkembang dan mencapai kesempurnaan bergerak dari dalam ke luar, bukan sebaliknya. Lebih jauh memahami filosofi pohon bambu tersebut, bahwa menjadi apa sesungguhnya kita ini sangat tergantung pada pemahaman, penghayatan, dan pengamalan kita tentang “Keimanan kepada Allah SWT” yang terdapat dalam hati (qalbu) kita masing-masing.
Wala Suji ini merupakan cikal bakal tulisan lontara. Karena pada masa-masa itu belum ada yang namanya pulpen, pensil dan sejenis alat tulis lainnya. Huruf lontara ini pada awalnya dipakai untuk menulis tata aturan pemerintahan dan kemasyarakatan. Naskah ditulis pada daun lontar menggunakan lidi atau kalam yang terbuat dari ijuk kasar.
Wala suji berasal dari kata wala yang artinya pemisah/pagar/penjaga dan suji yang berarti putri. Wala Suji adalah sejenis pagar bambu dalam acara ritual yang berbentuk belah ketupat. Sulapa eppa (empat sisi) adalah bentuk mistis kepercayaan Bugis-Makassar klasik yang menyimbolkan susunan semesta, api-air-angin-tanah.
Sebenarnya konsep segi empat pada Wala Suji ini, berpangkal pada kebudayaan orang Bugis-Makassar yang memandang alam raya sebagai sulapaq eppaq wala suji (segi empat belah ketupat). Menurut almarhum Prof DR Mattulada, budayawan Sulawesi Selatan yang juga guru besar Universitas Hasanuddin, Makassar, konsep tersebut ditempatkan secara horizontal dengan dunia tengah. Dengan pandangan ini, masyarakat Bugis-Makassar memandang dunia sebagai sebuah kesempurnaan. Kesempurnaan yang dimaksud meliputi empat persegi penjuru mata angin, yaitu timur, barat, utara, dan selatan. Secara makro, alam semesta adalah satu kesatuan yang tertuang dalam sebuah simbol aksara Bugis-Makassar, yaitu ‘sa’ (#) yang berarti seua, artinya tunggal atau esa. Begitu pula secara mikro, manusia adalah sebuah kesatuan yang diwujudkan dalam sulapaq eppaq. Berawal dari mulut manusia segala sesuatu dinyatakan, bunyi ke kata, kata ke perbuatan, dan perbuatan mewujudkan jati diri manusia. Dengan demikian, Wala Suji dalam dunia ini, dipakai sebagai acuan untuk mengukur tingkat kesempurnaan yang dimiliki seseorang. Kesempurnaan yang dimaksud itu adalah kabara-niang (keberanian), akkarungeng (kebangsawanan), asugireng (kekayaan), dan akkessi-ngeng (ketampanan/kecantikan).
C. Fungsi dan Makna Simbolik
Bagi masyarakat Bugis-Makassar, Wala Suji, dipakai sebagai acuan untuk mengukur tingkat kesempurnaan yang dimiliki seseorang. Kesempurnaan yang dimaksud itu adalah keberanian, kebangsawanan, kekayaan, dan ketampanan atau kecantikan.
Jika Anda pernah mengunjungi acara perkawinan suku Bugis-Makassar, tentu Anda akan melihat suatu baruga (gerbang) yang dikenal dengan nama Wala Suji di depan pintu rumah mempelai. Bentuk Wala Suji seperti gapura dan menyerupai bagian depan rumah panggung suku Bugis-Makassar. Atapnya berbentuk segitiga dan disangga oleh rangkaian anyaman bambu. Sebagai penghias, tak lupa diberi janur kuning.
Wala Suji adalah sejenis pagar bambu dalam acara ritual yang berbentuk belah ketupat. Sulapa eppa (empat sisi) adalah bentuk mistis kepercayaan Bugis-Makassar klasik yang menyimbolkan susunan semesta, api-air-angin-tanah.
D. Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang diperlukan dalam membuat walasuji yakni:
Bahan utama:
- Bambu tua, lurus dan masih hijau
- Rotan, untuk mengikat tiap rangkaian
- Pasak bambu, (bisa berupa kayu maupun kawat)
Bahan tambahan (jika diperlukan)
- Vernis, supaya lebih awet/tahan lama
- Balok kayu untuk tiang dan penyangga
- Papan
- Bakkaweng atau atap yang terbuat dari daun nipa (Bahasa Bugis).
Alat:
- Parang untuk membelah dan meraut
- Gergaji untuk memotong bambu
- Tobo’ (pisau kecil) yang tajam, untuk meraut bagian tertentu
- Pahat, untuk membuat lubang bambu
E. Prosedur Pembuatan
Dalam prosesi membuat walasuji biasanya dibuat satu sampai dua minggu sebelum acara pesta pernikahan suku bugis-makassar, tergantung seberapa besar strata sosial yang ada pada keluarga yang akan membuat pesta Menurut Mappeasse Gule salah seorang pemerhati kebudayawan di Bone. Orang yang membuatnyapun tidak terbatas mulai dari satu orang sampai puluhan, awalnya walasuji dibuat dari beberapa batang pohon dan sebaiknya walasuji dibuat dari bambu tua yang berkwalitas baik, lurus dan masih biru.
Adapun tugas-tugas dalam membuat anyaman walasuji yakni:1. Orang yang bertugas memotong-motong bambu,
2. Orang yang membelah menjadi beberapa bilah,
3. Orang yang bertugas meraut bambu sampai halus,
4. Orang yang membentuk atau yang merangkai (desainer) walasuji
Menurut Mappeasse tugas-tugas di atas tidak selamanya berjalan seperti itu tergantung seberapa besar pengalaman orang yang membuat walasuji, serta motif walasujipun sangat berfariasi seperti walasuji dengan bentuk segi empat besar dan segi empat kecil, dan yang segi empat kecil biasanya dibuat oleh kalangan profesional dan dikhususkan kepada strata yang lebih diatas sementara yang besar diperuntukkan bagi kalangan menengah dan pembuatannya tidak terlalu sulit dan lama.
F. Hubungannya dengan Sarapo
Sarapo atau baruga adalah bangunan tambahan yang didirikan di samping kiri/kanan rumah yang akan ditempati melaksanakan akad nikah. Sedangkan baruga adalah bangunan terpisah dari rumah yang ditempati bakal pengantin dan dindingnya terbuat dari jalinan bambu yang dianyam yang disebut walasuji “walasuji”. Di dalam sarapo atau baruga dibuatkan pula tempat yang khusus bagi pengantin dan kedua orang tua mempelai yang disebut “lamming”. Tetapi akhir-akhir ini di beberapa daerah seperti Bone sudah jarang lagi mendirikan sarapo oleh karena sudah ada beberapa gedung atau tenda yang dipersewakan lengkap dengan peralatannya, namun kadang pula masih ada yang melaksanakan terutama bagi kalangan bangsawan dan orang berada.
G. Masalah yang dihadapi dan Pergeseran Fungsi
Dewasa ini, Wala Suji bukan suatu hal yang langka lagi, karena bisa dilihat walaupun tidak ada acara perkawinan . Sejatinya, Wala Suji hanya dipakai pada acara pernikahan atau pesta adat bagi warga Sulawesi Selatan yang masih memegang teguh adat setempat. Namun kini, Wala Suji telah menjadi gerbang permanen bagi rumah-rumah keturunan bangsawan lokal. Bahkan pada beberapa keluarga yang pernah melakukan pesta perkawinan, membiarkan Wala Suji itu tetap berdiri kukuh dalam waktu lama. Padahal semestinya, maksimal digunakan hingga 40 hari pasca perkawinan atau pesta adat.
Keengganan merubuhkan Wala Suji usai upacara perkawinan itu, selain merasa sayang menghancurkan bangunan mini itu karena harga pembuatannya yang mencapai ratusan ribu rupiah, Wala Suji dapat pula difungsikan sebagai tempat bernaung dari panasnya matahari atau derasnya hujan pada musim penghujan.
Sebagian orang yang memiliki Wala Suji ini, justru membuat bangku panjang dari bambu atau kayu di sisi kiri dan kanan bagian bawah Wala Suji, sebagai tempat bersantai. Bahkan sejumlah restoran atau hotel-hotel berbintang di Makassar, juga memasang Wala Suji di lokasi prasmanan atau tempat sajian hidangan dengan alasan menambahkan estetika dekorasi ruangan, sekaligus memperkenalkan salah satu karya seni budaya masyarakat Sulawesi Selatan.
H. Kesimpulan
Walasuji merupakan karya seni rupa anyaman yang khas bagi orang Bugis-Makassar. saat ini bukan lagi murupakan milik bagi keluarga bangsawan bugis makassar, siapapun bisa menggunakan walasuji dalam dalam mengadakan sebuah kegiatan. Baik itu pesta pernikahan, peringatan hari lahir, perhiasan rumah-rumah makan, restoran, hotel, pagar rumah, rumah peristirahatan serta untuk sesajen (persembahan), dan ada kecenderungan Walasuji menjadi sebuah karya seni rupa sebagai penghias. namun terlepas dari semua itu walasuji tetap menyimbolkan budaya lokal bugis makassar yang sifatnya berkembang dan tak akan terlupakan sampai kapanpun.
Gambar:
Gapura motif Walasuji depan kantor Pelayanan Pajak Pratama Maros.
Daftar Pustaka: Mappeasse Gule. Nilai Tradisional Daerah Bone. 1999, gitalara.blogspot.com, id.wikipedia.org/wiki/Aksara_Lontara, asisjarahnitra.blogspot.com, gitalara.blogspot.com, anakbugisselangor.blogspot.com, wkmm-indonesia.blogspot.com, rappang.com.